RATIONAL USE OF MEDICINE (RUM)

RATIONAL USE OF MEDICINE (RUM)

Purnamawati S Pujiarto Dr SpAK, MMPed


Yayasan Orang Tua Peduli

Drugs are much too serious a thing
to be left to the medical profession and the pharmaceutical industry G.
Cannon

Semua orang dalam hidupnya suatu saat pasti membutuhkan obat, termasuk tenaga
medis. Semua orang, termasuk pemberi jasa layanan kesehatan (provider) adalah
konsumen. Semua orang butuh dan berhak memperoleh layanan kesehatan yang TERBAIK.
Di lain sisi, apakah semua gangguan kesehatan harus senantiasa dijawab dengan
obat? Apakah ketika anak sakit, solusinya harus peresepan sederet obat dalam
bentuk puyer?
Memang, tidak sedikit konsumen yang beranggapan bahwa konsultasi medis adalah
kunjungan berobat” alias upaya meminta obat. Uniknya, meminta obat ini
sudah seolah terpatri, harus” cespleng dan harus” puyer. Ironisnya
lagi, anak merupakan populasi yang paling terpapar pada pola pengobatan yang
tidak rasional antara lain pemberian antibiotika dan steroid yang berlebihan,
serta polifarmasi. Padahal, gangguan kesehatan harian pada anak umumnya merupakan
penyakit ringan yang sifatnya self limiting”. Demam, diare akut, batuk
pilek, dan radang tenggorokan, merupakan kondisi yang umumnya ditangani dengan
antibiotika. Keempat kondisi tersebut juga peresepannya polifarmasi. Padahal,
ketika orang dewasa mengalami gangguan yang sama, peresepan obatnya lebih ramping”
ketimbang buat anak. Padahal, di dalam kamus bahasa Indonesia, konsultasi medis
adalah perundingan antara pemberi dan penerima layanan kesehatan untuk mencari
penyebab terjadinya penyakit & untuk menentukan cara-cara pengobatannya.
Singkatnya, konsultasi medis adalah upaya advocacy, upaya berbagi informasi,
upaya meminta penjelasan dan kejelasan. Namun demikian, siapa yang paling berperan
terhadap terpaterinya pola pikir sakit = obat, obat = puyer (kalau mau murah,
praktis dan cespleng”)? Barangkali, sudah waktunya kita merenungkan kembali
praktek keseharian kita di lapangan. Membuka hati, karena kita ingin senantiasa
memberika yang TERBAIK buat bangsa ini. Waktunya pun terasa cocok karena sudah
semakin banyak konsumen yang memahami bahwa konsultasi medis tidak selalu berarti
obat, keputusan klinis tergantung penyebab gangguan kesehatan yang tengah dialami
si konsumen.
Tulisan ini merupakan bagian dari upaya perenungan dan upaya berbagi terkait
konsep pola pengobatan yang rasional, yag sudah lebih dari 20 tahun di canangkan.
Diawali dengan beberapa cuplikan termasuk dari beberapa guru yang saya hormati
dan kagumi semangat dedikatifnya bagi pasien-pasien kita tercinta.

PENINGKATAN MUTU PENGGUNAAN OBAT DI PUSKESMAS MELALUI PELATIHAN BERJENJANG
PADA DOKTER DAN PERAWAT

Iwan Dwiprahasto; Bag Farmakologi & Toksikologi FK, UGM Yogyakarta

Berbagai studi menemukan bahwa penggunaan obat untuk ISPA cenderung berlebih.
Penyebab pertama, keterbatasan pengetahuan petugas kesehatan mengenai bukti-bukti
ilmiah terkini, sehingga tak jarang tetap meresepkan obat yang tak diperlukan
(misal antibiotika dan steroid untuk common cold). Kedua, keyakinan dan perilaku
pasien. Contoh, kebiasaan memberikan injeksi pada pasien dengan gejala pada
otot-sendi.
43 puskesmas ikut dalam penelitian. Jumlah ratarata obat yang diresepkan untuk
ISPA anak dan dewasa, yaitu 3.62 dan 3,69. Pasien myalgia mendapat rata-rata
3.24 jenis obat. Di sebagian besar kabupaten penggunaan antibiotika untuk ISPA
mencapai lebih dari 90%. Hanya beberapa puskesmas yang meresepkan antibiotika
kurang dari 70%.

Tujuan penelitian (1) menilai pola peresepan ISPA dan myalgia di puskesmas
di 8 kab/kota, SumBar (data peresepan retrospektif), dan (2) meningkatkan mutu
penggunaan obat untuk ISPA dan myalgia (dilakukan intervensi pelatihan penggunaan
obat rasional, melibatkan dokter dan perawat di 15 puskes).
Enam bulan pasca intervensi, penggunaan obat termasuk antibiotika dan injeksi
menurun bermakna. Rata-rata jumlah obat untuk ISPA pada anak turun dari 3.74
+ 0.58 menjadi 2.47 + 0.67 (p<0.05) (dokter) dan dari 3.67 + 0.49 menjadi
2.39 + 0.73 (p<0.05) (perawat). Penurunan penggunaan antibiotika pada anak
dengan ISPA secara bermakna hanya ditemukan pada perawat, dari 81.37% menjadi
42.40%.
Proporsi pasien dewasa dengan ISPA yang mendapat antibiotika Turun bermakna
dari 89.18% menjadi 44.15% (p<0.05) (dokter) dan dari 91.22% menjadi 38.71%
(p<0.05) (perawat). Penggunaan injeksi juga turun bermakna pada pasien myalgia,
yaitu dari 69.11% menjadi 31.89% (p<0.05) (dokter) dan dari 79.56% menjadi
62.91% (p<0.05) (perawat).

Rabu, 22 November 2000: Obat, Komoditas atau Produk Karitas?

OBAT itu unik. Ia adalah komoditas ekonomi komersial tetapi sekaligus produk
yang lekat dengan fungsi sosial, penyelamat nyawa manusia. Obat memag telah
lama menjadi bahan perdebatan tak berkesudahan. Otoritas meresepkan obat yang
diberikan kepada profesi kedokteran terbukti kerap disalahgunakan, menimbulkan
pengobatan yang irrasional yang merugikan konsumen, namun memperkaya para dokter
dan industri farmasi.
Ivan Illich (Medical Nemesis: Expropriation to Health, 1975) mengkritik institusi
dan industri medis yang membuat manusia tak lagi memiliki otonomi atas kesehatannya
sendiri. Dunia medis justru menciptakan “kesehatan” menjadi “kesakitan”.
“Industri kesehatan telah menjadi ancaman besar terhadap kesehatan.”
Buku-buku lain yang menggugat kemapanan “kolusi” industri dan para
dokter ditulis Dianna Melrose (Bitter Pills-Medicines and the Third World Poor,
1982), Milton Silverman (Prescription for Death-The Drugging of the Third World,
1982), Charles Medawar (The Wrong Kind of Medicines?, 1984), John Braithwaite
(Corporate Crime in the Pharmaceutical Industry, 1984), hingga pengarang novel
Arthur Hailey (Strong Medicine, 1984). ………
Khusus tentang obat-obat generik bermerek, di Indonesia jumlahnya paling banyak.
Obat-obat ini berhasil membangun citra seolah-olah seperti obat paten. Ada nilai
tambah dengan kemasan yang baik, merek yang keren, serta biaya promosi yang
tidak kecil.
Obat, kecil skala ekonominya. Namun, keuntungan yang diraih luar biasa besar.
Di Amerika Serikat, menurut survei majalah Fortune, 12 perusahaan farmasi termasuk
dalam kelompok 50 perusahaan yang menghasilkan keuntungan paling besar. Padahal
tidak satu pun yang omsetnya besar. Di Indonesia, ada perusahaan farmasi PMA
mematok harga obat lebih tinggi daripada di Kanada dan banyak negara kaya. Ini
karena praktik transfer pricing ke perusahaan induk. Sementara perusahaan farmasi
swasta nasional juga pesta pora obat generik bermerek yang sebenarnya obat latah
(me-too drugs) yang margin keuntungannya jauh lebih besar ketimbang obat paten
PMA sehingga mereka leluasa mengontrak dokter.
Apakah masih layak menyebut obat dan dokter itu penyelamat? (ij)

Obat Rasional, Kuncinya Dokter

PROFESI kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan
audit kerasionalan preskripsi. Sampurno berharap masalah ketidakrasionalan penggunaan
obat dapat diatasi, sehingga dampak negatifnya dapat dihindari, antara lain
meningkatnya inefisiensi biaya pengobatan dan terjadinya efek obat yang tidak
diharapkan. Ia mengusulkan 3 agenda aksi untuk meningkatkan penggunaan obat
yang rasional. Pertama, pendekatan edukasi: Konsep obat esensial dan aplikasinya
serta pendidikan preskripsi yang rasional RS pendidikan punya tanggung jawab
etis terhadap masyarakat untuk mempromosikan preskripsi yang rasional melalui
contoh konkret dari para staf pengajarnya. “Sayangnya, justru di Indonesia
rumah sakit pendidikan adalah tempatnya mengajarkan preskripsi yang tidak rasional”.
Agenda aksi kedua adalah skim manajerial: melalui siklus pengadaan obat. DOEN
yang diimplementasikan secara konsisten dan diikuti dengan baik oleh setiap
tingkat pelayanan kesehatan. Estimasi pengadaan obat harus didasarkan pada morbiditas
(angka kesakitan), bukan atas dasar penggunaan sebelumnya. Agenda aksi ketiga,
intervensi regulasi. ………
Jumlah dan merek obat yang terus bertambah (sekitar 10.000 merek atau bentuk
sediaan), bukan soal mudah bagi seorang dokter untuk menjatuhkan pilihan. Menurut
Prof Iwan, dalam proses pemilihan ini dokter mudah dipengaruhi produsen. Sering
pilihan dokter jatuh pada preparat yang kurang efektif atau yang malahan merupakan
plasebo (obat bohong) dan substandar yang seringkali jauh lebih mahal dibanding
obat-obat lama yang telah terbukti keampuhannya. Di tengah rimba belantara ribuan
merek obat, dokter harus mempelajari sifat obat yang lama dan yang baru secara
terus-menerus seumur hidup.

From: http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1116
Pengukuhan Prof Iwan Dwiprahasto: “Tradisi Menulis Resep Obat Perlu
Dikoreksi” (“Farmakoterapi Berbasis Bukti: Antara Teori dan Kenyataan”).

Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi
tampaknya tetap menghantui kalangan professional kesehatan di negara-negara
berkembang, seperti Indonesia. Meskipun hampir semua jurnal biomedik dan buku-buku
teks kedokteran telah tersedia dalam bentuk elektronik…. tenaga kesehatan
dikhawatirkan semakin jauh dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang
mutakhir.
Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang
dan secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi-informasi tentang
obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya unbalanced, cenderung misleading
atau dilebih-lebihkan, dan berpihak pada kepentingan komersial.
“Penggunaan informasi seperti ini sangat beresiko dalam proses terapi,”
ungkap Prof dr Iwan Dwiprahasto MMedSc PhD, Senin (7/1) …Wakil Dekan Bidang
Akademik & Kemahasiswaan FK UGM saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FK UGM.
Ketua Komite Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan RSUP Dr Sardjito. Keterbatasan
informasi ini menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam praktek sehari-hari.
Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan.
Obat yang sering digunakan secara off label antara lain antihistamin, antikonvulsan,
antibiotika, serta obat flu dan batuk. Berbagai obat kardiovaskuler pun sangat
sering digunakan secara off label, antara lain antiangina, antiaritmia, dan
antikoagulan.” Berbagai penggunaan obat di luar dosis yang direkomendasikan,
termasuk pula dalam katagori ini. Banyak praktek-praktek kefarmasian di apotek
tergolong off label use.
“Menggeruskan tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk
sediaan anak, atau menggeruskan tablet atau kaplet untuk dijadikan saleb dan
krim adalah bentuk off label use yang jamak ditemukan. Hal itu terjadi secara
turun menurun, berlangsung puluhan tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya.”

LANJUTAN

Melestarikan penyimpangan, menikmati kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan
tampaknya sudah menjadi hedonisme peresepan. Yang satu mengajarkan dan yang
lain mengamini sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan
informasi yang tidak berbasis bukti.”
Menulis resep, seolah telah menjadi tradisi ritual yang tidak bisa dikoreksi.
Tulisan yang sulit dibaca seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan.
“Padahal bahaya mengintai dimana-mana. Kebiasaan keliru menuliskan aturan
resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1) seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti
menjadi diminum tiap 8 jam. Pun dengan obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya
bisa ditulis tiap 12 jam dan seterusnya.
“Menulis resep dalam bentuk campuran (beberapa jenis obat digerus dijadikan
satu sediaan puyer atau sirup) perlu untuk segera dikoreksi, karena termasuk
off label use. Jika praktek-praktek primitive semacam itu tetap dipertahankan,
maka keselamatan pasien (patient safety) tentu akan jadi taruhannya,” tandasnya.

Prof Iwan mengajak para professional kesehatan untuk senantiasa mengacu pada
bukti-bukti ilmiah terkini. “Keeping up to date” bukanlah sekedar
slogan tapi merupakan prasyarat fundamental dalam implementasi Evidence Based
Medicine (EBM).

ERA INFORMASI DAN TRANSPARANSI

Era informasi ini telah menggulirkan pergeseran di berbagai aspek kehidupan
termasuk aspek kesehatan khususnya di sisi pengetahuan dan kesadaran kesehatan.
Khalayak umum dengan mudah memperoleh akses ke pengetahuan kesehatan; kemudahan
ini seperti mengisi kehausan ilmu kaum muda Indonesia yang sudah semakin menyadari
haknya dan sudah mulai memposisikan dirinya sebagai konsumen. Tercermin dari
semakin meningkatnya upaya masyarakat dalam membekali diri dengan pengetahuan
kesehatan meski mereka tidak memiliki komputer sekalipun. Era informasi ini
merupakan anugerah karena dengan biaya murah kita bisa memilih situs yang reliable”.
Mereka juga mencermati iklim layanan kesehatan baik di luar Indonesia dimana
konsumen terbukti berhasil membantu mewujudkan iklim layanan kesehatan yang
lebih baik dan rasional. Mereka juga gencar mencari dan berbagi informasi perihal
siapa-siapa saja dokter yang RUD. Dan ketika mereka datang membawa print out
artikel dan guideline, ketika pasien sudah memahami tatalaksana harus sesuai
EBM dan guideline nya, lalu bagaimana dokter menyikapi fenomena dan kondisi
seperti ini? Aplikasi guidelines dalam praktek sehari-hari cepat atau lambat
akan membantu mengangkat citra profesionalisme kita sebagai tenaga medis.
Di lain pihak, tenaga kesehatan asing sudah berdatangan masuk ke Indonesia.
Mmapukah kita bersaing menghadapi serbuan” ini? Apakah para pemberi jasa
layanan kesehatan memahami perubahan pasar” lalu mampu tetap tegak dan
profesional di tengah persaingan global?


EBM, EBP, DAN GUIDELINES

EBM adalah landasan penyusunan guidelines dalam rangka membuahkan praktek
pengobatan yang rasional atau EB practices. Secara filosofis, tujuan EBM adalah
peningkatan mutu layanan kesehatan bagi pasien karena EBM berawal dari pasien
dan berakhir dengan pasien. Banyak sekali alasan mengapa kita butuh EBM. Pertama,
agar ilmu pengetahuan kita senantiasa up to date. Dengan bertambahnya jam terbang,
terbukti bahwa pengetahuan kita mengalami kemerosotan meski mungkin kemampuan
(skill) meningkat. Ilmu kedokteran terus berkembang dengan pesat dan terus berubah
dan kita sering tak bisa mengetahui informasi terkini secara tepat waktu alias
… selalu kedodoran! Perkembangan obat yang pesat bisa membuat kita tanpa sadar
belum memberikan yang terbaik untuk pasien-pasien kita. Oleh karena itu, EBM
merupakan upaya untuk melakukan the right thing in the right way; melakukan
the best for our patients.

Teknis praktisnya (EBP)? Ketika kita dihadapkan pada seorang pasien, langkah
pertama adalah menerjemahkan semua gejala pemeriksaan fisik dan keluhan menjadi
suatu pertanyaan klinis dalam 2 bentuk yaitu
(1) pertanyaan mendasar (4W dan 1H) serta
(2) pertanyaan yang lebih spesifik (terdiri dari 4 komponen yaitu PICO atau

a. Patient,
b. Intervention,
c. Comparison,
d. Outcome
Langkah kedua, Menerjemahkan pertanyaan di atas menjadi suatu upaya pencarian
bukti yang terkuat/terbaik. Ini membutuhkan pengetahuan IT medis serta metodologi
penelitian dan statistik sehingga tahu harus mencari kemana (mengetahui bagaimana
mencari evidence based resources, Medline, dll) untuk diagnosis, terapi, prognosis,
serta harm/casualty nya.
Langkah ketiga, menelaah evidence di atas secara kritis (critical appraisal)
terkait kualitas dan manfaatnya melalui telaah validitas, reliabilitas, relevansi
serta clinical importance nya.
Kuasai kekuatan evidence (level 1 s/d 5, dan kita pun akan senantiasa diingatkan
bahwa ecpert opinion memiliki kekuatan yang sangat lemah apalagi testimoni).

Guidelines.

Clinical practice guidelines are systematically developed statements
that aim to help physicians and patients reach the best health care decisions.
Good guidelines have many attributes, including validity, reliability,
reproducibility, clinical applicability and flexibility, clarity, development
through a multidisciplinary process, scheduled reviews, and documentation.
More than 2000 guidelines are currently represented in the National Guideline
Clearinghouse (www.guideline.gov).
Guidelines disusun berdasarkan evidence dan experience. Guideline merupakan
suatu rekomendasi tatalaksana suatu kondisi klinis. Guideline berhasil
menstandarisasi layanan kesehatan, mengurangi variasi lokal, dan memperbaiki
health outcomes (termasuk prognosis). Contoh guideline yang baik misalnya
dari USA adalah panduan imunisasi ACIP, STD dari CDC; dari UK, guideline
buatan NICE; dan tentunya guideline dari WHO. Untuk anak, AAP, BMJ dengan
clinical evidence nya, dan RCH.

Data WHO tahun 2004 yang dipresentasikan di ICIUM Thailand menunjukkan bahwa
tingkat kepatuhan terhadap standard guideline (STG) penanganan diare akut sangat
rendah di belahan Asia Tenggara. Di sektor publik hanya 39% sedangkan di sektor
swasta jauh lebih rendah lagi yaitu 17%. Studi pendahuluan pola peresepan pada
4 kondisi harian pediatri (n = 160) menunjukkan tidak ada satupun yang ditangani
sesuai guideline”.

POLA PENGOBATAN RASIONAL, KONSULTASI MEDIK.

Mari kita ambil contoh, bayi diare. Penyebab utamanya adalah infeksi virus
dan obatnya adalah cairan rehidrasi oral (oralit) untuk mencegah dehidrasi.
Dokter memberi informasi perihal penyebab, tatalaksana, dan risiko komplikasi.
Dokter menyatakan bahwa diare akan sembuh sendiri, tidak ada obat yang diperlukan
selain cairan rehidrasi oral. Dengan demikian, konsultasi medis tidak senantiasa
harus diakhiri dengan penulisan secarik kertas resep. Nasehat dokter yang profesional
juga suatu bentuk obat”. Pada dasarnya, tidak banyak gangguan kesehatan
yang tatalaksananya harus berupa pemberian obat (di makalah terdahulu sudah
dikemukakan bahwa ada 5 bentuk terapi; pemberian obat hanyalah salah satunya).
Ketika butuh obat, banyak sekali faktor yang berperan dalam peresepan obat.

Selain effectiveness, faktor keamanan merupakan salah satu faktor utama yang
melandasi konsep pola pengobatan rasional (rational use of drugs/RUD). Di lain
pihak, faktor utama yang menentukan pelaksanaan RUD ini adalah kebijakan peresepan
obat yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Antara lain regulasi obat, pendidikan
kedokteran, informasi dan pengetahuan pola peresepan yang baik, industri farmasi,
serta kondisi sosio-kultural setempat. Semua saling terkait.

RUD adalah pola pemberian obat yang tepat yaitu pemilihan obat yang sesuai dengan
diagnosis penyakitnya, tepat konsumsinya, tepat dosisnya, tepat jangka waktu
pemberiannya, dan aman, dengan harga semurah mungkin serta dengan pemberian
informasi yang obyektif. Singkatnya, pola pemakaian obat yang aman dan efektif
(cost-effective), efisien dengan good outcome. Pendekatannya sesuai alur di
bawah:

1. Pasien dan permasalahannya. Dokter harus mengumpulkan data perihal perjalanan
penyakit dan pengobatan yang pernah diperoleh pasien.
2. Diagnosis: diagnosis tepat atau akurasi tinggi. Bila tidak memungkinkan,
setidaknya ada diagnosis perkiraan untuk selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang (laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan sebagainya).
3. Tujuan terapi: dipengaruhi jenis penyakit dan keparahannya. Secara garis
besar tujuan adalah kesembuhan atau berkurangnya/hilangnya gejala/keluhan.
4. Pemilihan obat. Dilakukan dalam dua tahapan berikut:
– Menetapkan obat yang akan dipilih dengan catatan, hanya sebagian gangguan
kesehatan yang memang membutuhkan obat. Nasehat yang profesional juga obat.
Tidak jarang, ketika pasien tidak membutuhkan obat, dokter tetap memberikan
resep misalnya suplemen atau imunomodulator.
– Dari berbagai obat yang tersedia di tahap pertama di atas, dilakukan kajian
dari berbagai aspek yaitu efektivitas, keamanan, suitability, biaya, kemudahan
pemberiannya, serta persyaratan penyimpanannya. Pada anak misalnya, sirup tentunya
lebih suitable ketimbang puyer (belum lagi bicara soal stabilitas obat di udara
tropis). Dari sisi efektivitas versus biaya, obat generik tentunya menjadi pilihan
ketimbang obat bermerek. Ketika membutuhkan antibiotik, tentunya dipilih yang
sesuai target yang dibidik.
5. Terapi dimulai: Dokter meresepkan obat; memberi penjelasan manfaat dan efek
samping obat serta tindakan seandainya terjadi reaksi efek samping obat.
– Hasil terapi: Dokter melakukan penilaian terhadap terapi yang sudah dilakukan
agar dapat menyimpulkan hasilnya.
– Kesimpulan terapi: Dokter menilai tercapai tidaknya tujuan terapi. Bila tujuan
tidak/belum tercapai, dokter meninjau kembali akurasi diagnosis serta mengevaluasi
kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.

Menentukan permasalahan. Berdasarkan rangkaian langkah yang harus dilakukan
sebelum sampai pada langkah penatalaksanaan adalah menentukan permasalahan dan
penyebabnya. Keduanya ini merupakan fondasi pelaksanaan pola pengobatan yang
rasional. Contoh sederhana adalah ketika seorang anak batuk; kita tahu bahwa
batuk adalah gejala dan langkah pertama adalah mencari penyebabnya sehingga
dokter dapat menentukan diagnosisnya dan atas dasar diagnosis tersebut baru
ditetapkan tatalaksananya.

Institute of Medicine: According to the
committees vision (see box), the FDA must embrace a culture of safety
in which the risks and benefits of medications are examined during their
entire market life. This so called life-cycle approach would entail evaluating
risks in the context of benefits, sustaining attention to both efficacy
and safety after approval, and advancing and protecting the health of
the public. Risk benefit analyses would highlight key areas of uncertainty.
The careful design and conduct of post-marketing studies would help to
resolve uncertainties as drug use expanded.

POLA PENGOBATAN TIDAK RASIONAL (IRUD)

Pola pengobatan yang tidak rasional adalah pola pengobatan yang tidak mengikuti
kaidah pengobatan rasional. Dari berbagai studi, bentuk utama IRUD adalah:
– polifarmasi (pemberian beberapa obat sekaligus pada saat yang bersamaan pada
kondisi yang tidak memerlukan beberapa obat sekaligus)
– pemberian antibiotika yang berlebihan
– pemberian steroid yang berlebihan
– tingginya tingkat pemakaian obat non generik
– tingginya tingkat pemakaian obat injeksi
– tingginya tingkat pemakaian obat” yang sebenarnya tidak dibutuhkan (off
label use). Termasuk di dalam kategori off label use adalah pemberian antibiotik
untuk infeksi virus seperti diare akut dan ISPA, pemberian steroid untuk batuk
pilek ISPA. Contoh lain misalnya, pemberian suplemen, vitamin, antihistamin
untuk common colds/flu, bronkodilator untuk batuk pada ISPA, dsb nya.

Penelitian pola peresepan pediatri di India menunjukkan bahwa 83,9% peresepan
yang tidak rasional dilakukan oleh sektor swasta. Sebesar 52,7% peresepan terdiri
dari 3 obat atau lebih. Empat puluh persen meresepkan suplemen dan tonikum.
Lebih dari 90% meresepkan obat bermerek (branded generic). Kesimpulan mereka,
Private practitioners prescribed significantly greater number of medicines and
were more likely to prescribe vitamins and antibiotics, and branded medicines.

Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) melakukan 2 penelitian
cross sectional dengan mengumpulkan resep yang di email ke mailing list
kami, penelitian kedua, mengumpulkan resep dan kwitansi yang dikirim ke
markas YOP. Resep yang ditelaah adalah resep untuk anak dengan 4 kondisi
yaitu batuk pilek demam (ISPA), demam, diare akut (dengan atau tanpa muntah),
dan batuk tanpa demam lebih dari 1 minggu. Berikut ini ringkasan penelitian
pertama dengan responden 160 anggota mailing list.
Jumlah obat. Median jumlah obat yang diresepkan adalah 5 (dengan rentang
2 – 11 obat). Batuk merupakan kondisi yang jumlah obat dalam peresepannya
paling tinggi yaitu 11 obat. Dengan tingkat peresepan puyer sebesar 55,4%
pada diare akut, 72,6% pada demam, 77,4% pada ISPA, dan 87% pada batuk.

Antibiotik. Tingkat pemberiannya paling tinggi pada anak demam yaitu 87%
disusul dengan diare 75%, ISPA 54,5%, dan pada anak batuk tanpa demam sebesar
47%.
Generik. Tingkat peresepannya sangat rendah yaitu 0% pada kasus demam, 5%
pada diare akut, 7% pada ISPA dan 10,5% pada batuk tanpa demam.
Steroid. Pada batuk sebesar 60,9%, pada ISPA sebesar 50,9%; sebesar 53,5%
pada demam dan bahkan 18,5% anak diare diberi steroid (umumnya triamnisolon).
Tingginya tingkat pemberian steroid juga sangat memprihatinkan yang sebetulnya
tidak akan terjadi apabila bekerja sesuai guideline”.
Tambahan. Peresepan suplemen (multivitamin, ensim, perangsang nafsu makan”,
atau imunomodulator”, cukup tinggi yaitu 21,9% pada ISPA, pada demam
34,9%, pada batuk 2,4% dan paling tinggi pada diare yait6u 61,9%.
Biaya. Pada ISPA, Rp 15,000 – Rp 747,000; median 117.500; Pada demam
Rp 20.800 – Rp 137.000, maksimum Rp 326,000; Pada diare akut Rp 56.000
– 161.000, maksimum Rp 349.000. Analisis biaya pada peresepan pediatri
di Jakarta menunjukkan tingginya biaya ketika dokter tidak bekerja sesuai
guideline. Padahal, biaya bukan sekedar rupiah. Harm” atau potential
harm” juga biaya.

ONGKOS. Di Indonesia, pengeluaran terbesar untuk antibiotics (63% dari pengeluaran/ongkos
ISPA), disusul dengan obat batuk-pilek, analgesik. Di sektor publik, biayanya
kurang lebih Rp 512 Rupiahs per kasus (padahal biaya sesungguhnya hanya Rp 153
per kasus apabila ditangani sesuai guideline). Biaya obat untuk diare dan ISPA
adalah 68% dari total biaya layanan kesehatan untuk balita dan 38% pada anak
di atas 5 tahun alias 36% total belanja kesehatan untuk obat.

SEPUTAR OBAT SIMTOMATIK FLU DAN COLDS:

• Chlorpheniramine or doxylaminine reduced runny nose and sneezing
after 2 days compared with placebo, but the clinical benefit was small.
Another review, found no significant difference in overall cold symptoms
at 1–10 days between antihistamines and placebo

• Some non-sedating antihistamines are associated with arrhythmias
and adverse interactions with other drugs.

• Compared with placebo, decongestants (norephedrine, oxymetazoline,
pseudo-ephedrine) reduced nasal congestion over 3–10 hours after
a single dose, but found insufficient evidence to assess the effects of
longer use of decongestants.

• Decongestants provide short-term relief of nasal obstruction
for adults, but may not work in children. Oral or nasal decongestants
are often used, but evidence that they work is scanty. Well-conducted
trials show that single doses are moderately effective. There is insufficient
evidence to show whether repeated doses are effective, or whether single
or repeated doses WORK IN CHILDREN UNDER THE AGE OF 12. Link: http://www.cochrane.org/reviews/english/ab001953.html

• No convincing evidence that anti-histamines, when used alone,
can relieve the cold. In combination with decongestives, antihistamines
might lead to some relief from a blocked and/or runny nose although there
is not enough evidence to be certain. Link: http://www.cochrane.org/reviews/english/ab001267.html

Makers of OTC Cough and Cold Medicines Announce Voluntary Withdrawal
of Oral Infant Medicines www.chpa-info.org
The branded cough and cold medicines that are being voluntarily withdrawn
are:

• Dimetapp® Decongestant Plus Cough Infant Drops
• Dimetapp® Decongestant Infant Drops
• Little Colds® Decongestant Plus Cough; Little Colds® Multi-Symptom
Cold Formula
• PEDIACARE® Infant Drops Decongestant (containing pseudoephedrine)

• PEDIACARE® Infant Drops Decongestant & Cough (containing
pseudoephedrine)
• PEDIACARE® Infant Dropper Decongestant (containing phenylephrine)

• PEDIACARE® Infant Dropper Long-Acting Cough
• PEDIACARE® Infant Dropper Decongestant & Cough (containing
phenylephrine)
• Robitussin® Infant Cough DM Drops
• Triaminic® Infant & Toddler Thin Strips® Decongestant

• Triaminic® Infant & Toddler Thin Strips® Decongestant
Plus Cough
• TYLENOL® Concentrated Infants’ Drops Plus Cold
• TYLENOL® Concentrated Infants’ Drops Plus Cold & Cough

Apabila kita tilik isinya, obat jadi tersebut mengandung bahan aktif dekongestan.
Dengan demikian, pelajaran yang kita tarik dari kondisi di atas antara lain
adalah bahwasanya anak batuk pilek TIDAK usah dan tidak boleh diberi dekongestan.
Apakah itu dalam sediaan puyer ataupun dalam sediaan jadi (bermerek).

http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/121/4/783?maxtoshow=&HITS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=cold+

medicine&andorexactfulltext=and&searchid=1&FIRSTINDEX=10&sortspec=relevance&resourcetype=HWCIT
BACKGROUND. Adverse drug events in children from cough and cold medications
have been identified as a public health issue with clinical and policy
implications.

Nationally representative morbidity data could be useful
for targeting age-appropriate safety interventions.

OBJECTIVE. To describe emergency department visits for
adverse drug events from cough and cold medications in children.
METHODS. Emergency department visits for adverse drug events attributed
to cough and cold medications among children aged <12 years were identified
from

a nationally representative stratified probability sample
of 63 US emergency departments from January 1, 2004, through December
31, 2005.

RESULTS. Annually, an estimated 7091 patients aged <12
years were treated in emergency departments for adverse drug events from
cough and cold

medications, accounting for 5.7% of emergency department
visits for all medications in this age group. Most visits were for children
aged 2 to 5 years (64%).

Unsupervised ingestions accounted for 66% of estimated
emergency department visits, which was significantly higher than unsupervised
ingestions of other

medications (47%), and most of these ingestions involved
children aged 2 to 5 years (77%). Most children did not require admission
or extended observation (93%).

http://www.mayoclinic.com/health/cold-medicines/CC00083
Avoid cough suppressants and other cold medicines. Coughing helps clear
the mucus from your baby’s airway. For otherwise healthy babies, there’s
usually no reason to suppress it. In fact, the Centers for Disease Control
and Prevention warns against giving cough and cold medicines to children,
especially those younger than age 2 years. Cough and cold medicines haven’t
been proved effective for children — and for young children, an
accidental overdose could be fatal.
Remember, over-the-counter pain relievers and cough and cold medicines
don’t kill the viruses that cause upper respiratory infections. And low-grade
fevers — which do help kill viruses — don’t need treatment.
If you give your baby an over-the-counter pain reliever, follow the directions
printed on the label.
What’s the concern about cough and cold medicines for kids?

Over-the-counter cough and cold medicines won’t cure a common cold or
make it go away any sooner. In fact, cough and cold medicines haven’t
been proved effective for children. And there are serious risks to consider.
For example, the sedating effects of antihistamines can be dangerous for
kids already having trouble breathing. For young children, an accidental
overdose of cough or cold medicine could be fatal.
The Food and Drug Administration (FDA) encourages parents to avoid cough
and cold medicines for children younger than age 2.

What if cough and cold medicines seemed to work for my child
in the past?

Chances are, your child’s signs and symptoms simply improved on their
own — or the sedating effects of the medication made you think that
your child was feeling better. Low-grade fevers don’t need treatment,
and research shows that cough and cold medicines for kids are no more
effective than a placebo.

Are cough and cold medicines a problem for children older than
age 2?

Older children aren’t as likely as younger children to experience side
effects from cough and cold medicines, but side effects are still possible.
Some cough and cold medicines may make kids sleepy, while others may have
the opposite effect. Even then, remember that cough and cold medicines
can’t make a cold go away any sooner.
Experts from the FDA are studying the safety and effectiveness of cough
and cold medicines for children older than age 2. In the meantime, if
you choose to give cough or cold medicines to an older child, carefully
follow the label directions.

CLINICAL EVIDENCE
• The evidence for effectiveness
of over-the-counter (OTC) cough medicines is weak.
• Acute cough
is a common and troublesome symptom in people who suffer from acute upper
respiratory tract infection (URTI). Many people self-prescribe OTC cough
preparations and health practitioners often recommend their use for the
initial treatment of cough
• The results of this review: no good
evidence for or against the effectiveness of OTC medications in acute cough.

• link: http://www.cochrane.org/reviews/english/ab001831.html

Source : http://www.cdc.gov/drugresistance/community/campaign_materials/Color/FactSheet-RunnyNose(color).pdf

Source : http://www.cdc.gov/drugresistance/community/campaign_materials/Black-White/VirusBacteriaChart(BW).pdf

BATUK

TRADE OFF BENEFITS & HARMS – Antibiotics
UNKNOWN EFFECTIVENESS – B2 agonist
– Antihistamines
– Antitussive, Expectorants

Buat anak, WHO menegaskan, pemberian obat penekan refleks batuk, TIDAK dianjurkan.

Radang tenggorokan – Clinical evidence: BMJ

Treating symptoms Likely to be beneficial NSAIDs, Parasetamol
Unlikely to be beneficial Antibiotik, steroid
Unknown effectiveness Probiotik
Preventing complications Trade off – benefits and risks Antibiotik

TONSILITIS

CLINICAL EVIDENCE:
• No clinically relevant
differences in the health related quality of life. The number of episodes
was lower in the surgical group in the first 6 months after operation but
from 6–24 months there was no difference between the groups. Adenotonsillectomy
seemed more beneficial in children with 3–6 throat infections a year
before entry into the trial than those with fewer episodes (difference:
–1.07, 95% CI –1.59 to –0.56 v +0.34, 95% CI –0.08
to +0.77. The authors concluded that adenotonsillectomy for mild symptoms
has little clinical benefit over watchful waiting and no discernable benefit
after 6 months.
• The risks of tonsillectomy include those associated
with general anaesthesia and those specific to the procedure (bleeding,
pain, otalgia, and, rarely, nasopharyngeal stenosis). The subsequent RCT
found that 16/203 [8%] children who had surgery suffered complications.

• In the smaller RCT (91 children), erythematous rashes occurred in
4% of children in the non-surgical group while taking penicillin.[4] Other
adverse effects of antibiotics include allergic reactions and the promotion
of resistant bacteria. One RCT found that, for people with milder episodes
of sore throat, the prescribing of antibiotics compared with no initial
prescription significantly increased the proportion of people who returned
to see their physician in the short term because of sore throat (716 people
with sore throat and an abnormal physical sign; return rate: 38% with initial
antibiotics v 27% without initial antibiotics; adjusted HR for return 1.39,
95% CI 1.03 to 1.89).

DIARE

Kaolin: Obat ini tidak perna masuk guideline tatalaksana diare akut. Bahkan
dari produsen nya sendiri menyatakan bahwa obat ini justru tidak boleh diberikan
pada infeksi E coli, salmonella, shigella, dan tidak boleh juga diberikan pada
diare yang ada darahnya serta bila ada kecurigaan obstruksi usus dan berbagai
kasus bedah lainnya. Kaolin juga dapat menimbulkan efek samping yang disebut
Toxic megacolon yaitu terkumpulnya dan terperangkapnya tinja di usus besar sehingga
racun-racun yang seharusnya dikeluarkan oleh tubuh kita akan meracuni tubuh
kita. Selain itu, baru-baru saja ada warning agar tidak memberikan Kaopectate
karena kandungan aspirin di dalamnya.

Pepto Bismol Warning
====================
Parents generally know that they shouldn’t give aspirin to their kids. There
are other medicines that contain salicylates, which are related to aspirin,
that you should also avoid. Their link to Reye’s syndrome is just theoretical
though. These include: Kaopectate & Pepto-Bismol
Also remember that the AAP, in the practice parameter: The management of
acute gastroenteritis in young children, makes the recommendation that ‘as
a general rule, pharmacologic agents should not be used to treat acute diarrhea’
and that ‘the routine use of bismuth subsalicylate is not recommended in
the treatment of children with acute diarrhea’.

BERBAGAI BENTUK IRUD

Polifarmasi. Salah satu contoh polifarmasi adalah pemberian puyer (racikan)
yang berisikan beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan
ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.
Pada suatu lokakarya RUD dikemukakan bahwa rerata jumlah obat di Pakistan adalah
3,6 obat/resep. Di Nigeria, 3,8 obat per pasien. Di Sudan, lebih dari 50% memperoleh
4 atau lebih obat per resep. Rerata obat balita (apapun diagnosisnya) adalah
3,58. Di Indonesia, suatu survey di Denpasar, menunjukkan 84,4% resep pediatri
mengandung lebih dari 4 kandungan aktif. Di Sumatera Barat, rerata obat yang
diberikan untuk anak ISPA adalah 3.69 obat. Sedangkan penelitian Depkes menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah obat yang diberikan adalah 3,49.

Peresepan obat yang tidak perlu. Pada Technical briefing seminar WHO awal tahun
2004 perihal Kebijakan Obat Esensial dikemukakan bahwa di negara sedang berkembang,
jumlah obat yang diresepkan padahal sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar
39 – 59%. Hal ini mencerminkan tingginya uang yang dibelanjakan untuk
obat sebenarnya tidak perlu dikeluarkan; sungguh suatu pemborosan.
Obat injeksi. Di negara sedang berkembang, persentase pemberian obat secara
injeksi (yang sebenarnya bisa diberikan secara oral) juga tinggi (20 –
76%). Sebenarnya, tidak banyak pasien yang membutuhkan pemberian obat melalui
suntikan. Selain itu, dipandang dari berbagai aspek, selama obat masih dapat
diberikan secara oral, pemberian melalui suntikan banyak dampak negatifnya termasuk
tingginya biaya karena pasien umumnya harus rawat inap di rumah sakit dan meningkatnya
risiko efek samping obat, kemungkinan masuknya bakteria ke tubuh kita saat penyuntikan
dilakukan, serta terusiknya rasa nyaman. WHO melaporkan bahwa sedikitnya 15
milyun penyuntikan per tahun di seluruh belahan dunia. Separuhnya mempergunakan
jarum suntik yang tidak steril. Setiap tahun, tercatat 2,3 – 4,7 juta
infeksi hepatitis B/C dan 160.000 infeksi HIV akibat pemberian obat melalui
suntikan. Diskusikan dengan dokter bila dinyatakan perlu memperoleh obat suntikan.

Antibiotika. Di beberapa negara sedang berkembang, persentase peresepan antibiotika
yang sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar 52% – 62%. Data yang terekam dari
Indonesia mencatat sedikitnya 43% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak
diperlukan. Mengingat luasnya Indonesia, tidak kecil kemungkinan adanya data
yang lolos dan tidak terekam. Penelitian di beberapa tempat di Sumbar menunjukkan
bahwa tingkat pemakaian antibiotika sebesar 90%. Sedikit sekali puskesmas yang
memberikan antibiotika kurang dari 70%. Tingkat penggunaan antibiotika untuk
balita mencapai 83% dan 60% pada mereka di atas 5 tahun.
Penelitian membuktikan bahwa setiap harinya, telah diresepkan jutaan antibiotika
bagi pasien dengan penyakit infeksi virus. K. Holloway di Technical Briefing
Seminar 2004 WHO Geneva, menyatakan bahwa 30 – 60% pasien memperoleh antibiotika;
padahal, sebenarnya hanya 10 – 25% saja yang memerlukannya. Indonesia
menempati urutan tertinggi dibandingkan Nepal dan Bangladesh.


PENYEBAB IRUD.

Menurut Dr Weerasurya salah satu pakar RUD dari WHO SEARO, antara lain karena:
1. Membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar. Di pasaran, suatu produk
obat tertentu tersedia dalam ratusan bahkan ribuan macam. Dokter sulit memilih
suatu obat secara rasional dan independen dari ribuan pilihan tersebut.
2. Proses pengambilan keputusan oleh para dokter & farmasis. Secara garis
besar, hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan, kompetensi serta profesionalisme
dokter dalam menghadapi pasien yang demanding” (misalnya selalu meminta
antibiotika atau meminta obat yang manjur”) dan dalam menangkal promosi
obat yang agresif.
3. Dispensing doctors.
4. Perilaku interventionist, dll

Suatu penelitian skala besar di beberapa negara maju menunjukkan sedikitnya
3 alasan mengapa para dokter cenderung agak “abusive” dalam pola
peresepannya:
– LACK OF CONFIDENCE. Dokter sering “kurang percaya diri” untuk
menyata-kan bahwa penyakitnya disebabkan infeksi virus dan tidak memerlukan
antibiotika. Dokter juga bisa “cemas” pasien akan pindah ke dokter
lain yang justru akan memberikan antibiotika; saat pasien sembuh ia akan menganggap
antibiotikanya lah yang menyembuhkannya. Padahal, setiap penyakit memiliki pola
perjalanan penyakit; saat berobat ke dokter kedua, penyakitnya diambang kesembuhan,
samasekali tidak ada hubungan dengan antibiotika yang diberikan.
– PATIENT PRESSURE. Tidak sedikit pasien yang meminta antibiotika atau menuntut
obat cespleng”.
– COMPANY PRESSURE. Tidak akan dibahas di bagian ini.


HARUS PUYER?

Ketika pertama kali melontarkan pertanyaan mengapa harus puyer”? Aneh,
mengapa harus dipertanyakan? Selama ini semua orang take it for granted”
bahwa resep (khususnya buat anak) adalah puyer. Puyer adalah bagian dari kultur”,
tradisi, tak terpisahkan dari dunia kedokteran di Indonesia. Puyer dianggap
yang terbaik dan paling tepat untuk Indonesia karena murah” (tetapi tidak
ada negara miskin lainnya yang memberikan peresepan puyer). Puyer paling tepat
buat Indonesia karena dosisnya bisa tepat (padahal dosis bisa kurat dengan apabila
kita mempergunakan syringe” untuk mengukurnya. Puyer juga dianggap terbaik
buat Indonesia karena sedikit sekali sediaan buat anak. Puyer juga paling tepat
karena mudah” yaitu ketika anak butuh banyak obat (gagguan kesehatan harian
tidak butuh banyak obat ketika kita kerjakan sesuai guidelinenya). Benarkah?
Di lain pihak, pasien Indonesia pun sudah menganggap (otomatis) bahwa anaknya
jauh lebih baik mengkonsumsi obat puyer.

Puyer harus ditinjau sedikitnya dari 2 aspek yaitu aspek
1. Good Manufaturing Practice (GMP/CPOB)
2. Good Prescribing Practice (GPP) dan EBMnya (lihat 6 langkah peresepan yang
benar di halaman 7)

Sebelumnya, kita tilik beberapa contoh komentar providers dan consumers terkait
puyer.

Ilustrasi di lapangan – PROVIDERS (ketika terjadi diskusi seputar
puyer)

Puyer dibuat dengan dasar pemikiran bahwa obat paten yg ada di pasaran
tidak sesuai dengan kemauan dokter sehingga dokter memiih untuk meracik
sendiri. Selain itu ada juga pemikiran bahwa pasien akan mendapat obat dengan
harga lebih murah + manjur…. Tapi sekarang bukannya sudah banyak obat
paten, selain itu banyak obat berarti lebih banyak efek samping, dan lagi…..masih
ada puyer yg ternyata harganya selangit….sooooooooo ???
Merubah perilaku pemberian resep puyer juga tidak mudah, mulai dari pengajaran
saat kuliah di FK, bagian farmasi harus dilibatkan….. saat saya sekolah
di FK pelajaran membuat puyer merupakan salah satu mata kuliah farmasi,
gak tahu sekarang gimana??? Kemudian para guru dan guru besar yg mengajar
di FK maupun Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) mesti juga memberi
contoh, agar generasi penerus lebih baik.
Membuat teori jadi kenyataan di lapangan bukan hal yg mudah apalagi kalo
pasiennya awam sekali…..membuat. Belum lagi pasien askeskin atau jamkesmas
yg dapet jatah obat sangat terbatas” dan kurang memberikan perhatian
pada obat anak sehingga hanya ada tablet untuk dewasa yg akhirnya dipuyerkan
agar sesuai untuk anak. Paket obat anti tuberkulosa (TBC) untuk anak juga
tidak memberi jatah yg cukup untuk masyarakat, OAT yg bentuk sirup atau
tablet untuk anak harganya mahal, tak ada di askeskin.
Dr X: silahkan… mungkin punya solusi jitu ttg masalah puyer … barangkali
pabrik obat disuruh bikin obat kecil2 kaya permen berdasarkan berat badan
si bayi misalnya??
ttg tulisan di”prof” yang bilang dalam bentuk sirup apakah bisa
juga menjamin dosis yang diminum bisa lebih “tepat” dibanding
puyer mengingat satu sendok misalnya bisa tertumpah, tidak pas takarannya
ataupun mengendap karena tidak dikocok sebelumnya.
dear all… menggerus obat… duuh rasanya di Indonesia aja nih yang masih
pakai… ya agak susah sih memberantasnya… tunggu menkes turun tangan
kali ya… tapi yang jelas… logikanya begini…..
Mortar itu permukaannya berbentuk pori pori kecil … dimana setiap habis
menggerus serbuk obat tersimpan didalamnya dan sulit dibersihkan… kebayangkan
kalau berkali kali digunakan mortarnya… berapa obat yang tertinggal di
dalamnya… belum lagi obat itu kan proses pembuatannya steril begitu masuk
mortar sudah tidak steril lagi…
Nah itu baru dari pembuatannya… belum lagi dari segi polifarmasi (poli
= banyak) (farmasi = obat), satu obat saja efek sampingnya sudah macam macam
apalagi kalau banyak…. dan belum lagi terjadi interaksi obat yaitu obat
satu meningkatkan atau melemahkan kerja obat yang lain, meningkatkan risiko
menjadi racun, meningkatnya risiko efek samping yang tidak diinginkan….
jadi … jangan mau ya kalau dikasih puyer…

Ilustrasi di lapangan – CONSUMERS

Seperti biasa anak – anak common cold, semua menganggap saya kebangeten
nggak bawa ke dokter. Kadang saya berfikir saya bawa anak ke dokter karena
tidak tahan pandangan orang atau tidak tahan anak batuk pilek, atau kurang
sabar? Ketemu dokter langsung dituduh tidak memberikan ASI, duh senang juga
ni dokter pro ASI, setelah itu sedih deh diresepin puyer, ditambah antibiotik
ditambah vitamin. Saya langsung nanya kok puyer dok kan berbahaya. Puyer
kan cuma ada di Indonesia. Dia bilang itu karena puyer paling sesuai
dengan Indonesia (????)
Jadi puyer termasuk kekayaan budaya kita
ya??? Bulan depan aku mau ke dr. lagi, siapa tahu bulan depan beliau sudah
tidak mau meresepkan puyer. Semoga ya…! Li…
Dear SP & doctors,
Saya punya dokter langganan yg cukup unik (menurut ukuran saya). Beliau
ini kalo ngasih obat ke pasien, selalu dari obat2-an yg dia punya dgn
jenis obat, jumlah maupun ukuran yg ber-variasi. Misalnya, 1 (satu) plastik
berisi tablet A, kapsul B, setengah tablet C, dst., dan 1 plastik ini
untuk (misalnya) dikonsumsi 3 kali sehari Uniknya (sekali lagi, ini menurut
ukuran saya), si pasien-lah yg harus menggerus obat2an itu sendiri.
Sebenarnya boleh nggak sih hal seperti ini dalam kode etik kedokteran?
Salam, Sa….

J1: Ikut urun rembug yah….. Yang saya tahu Pak…..dokter itu kalau
ngasih obat ati2….. ndak lebih dari 2 baris atau 2 jenis obat….pun
tidak di tumbuk…
Nah Pak…..kenapa ndak boleh di gerus…diuleg jadi satu…..alias puyer….
bahasa kerennya polifarmasi. Kenapa ndak boleh…lebih banyak mudhorotnya
Pak.
Pemberian obat secara polifarmasi lebih banyak ruginya daripada untungnya
bagi pasien…… harga lebih mahal…belum tentu perlu semua obat2annya….mubazir.
Yang tidak kalah syeremnya….kemungkinan timbulnya interaksi obat semakin
besar…sehingga kemungkinan timbulnya efek toksik dan efek samping serta
penyakit karena obat semakin meningkat/nggilani. mohon maaf kl kurang
membantu, salam, ba….

saya coba urun rembug versi buruh pabrik dan pengalaman saya ngasuh
anak.
Pak…kalau anak-anak sakit kira2 butuh obatnya apa saja? Paling bater
Paracetamol…. ada sirupnya kok. Apalagi…diare….ada oralit; Butuh
antibotik…ada tuh syrup amoksisilin
gimana yg ndak ada syrupnya? Misalnya … antihistamin..buat alergi. alergi
kan umumnya cukup cegah pemicunya..jarang butuh antihistamin.
apalagi…steroid…..jaraanggg sekali ini pak. kl di indon iya batpil
hajar pakai ginian… alhamdulillah anak saya cukup minum air putih hangat
dan cukup makan.

Bagaimana dgn keadaan di puskesmas yg juga masih menggerus puyer ???
masih banyak juga pasien batpil di puskesmas dikasih racikan puyer (termasuk
jaman dulu saat si sulung kena batpil dan saya masih oon dgn RUD). Moga
kedepannya bisa lebih baik lagi
Thks/ Mamanya F…

masukan please… Habis ke DSA…dapet resep kayak antrian bus-way abis
jam kantor 😦
– Zitromax (ga ketemu di medicastore?)–> AB, kata DSA karna infeksi
– Puyer : Spiropen, homoclomin, kenacort, ambril, HCL codein –> katanya
untuk batuk pilek, tp indikasi obatnya kok untuk penyakit yg cukup gawat
ya??
– Dumin–> obat panas
Kecewa berat ama DSA nya… terburu2 (banyak pasien). Jadi masuk ruang
periksa, periksa pake stetoskop, tulis resep.. selesai d acaranya… (ngukur
panas juga kaga tuh…) Kemudian, ke kasir bayar, di apotik, pas saya
nanya famasisnya (kebetulan lagi keluar dari tempat persembunyian..hehehe..)
eh, malah nanya: “Ibu mau beli obat nya di sini apa tempat laen?”….

Oh ya, Ruam yg keluar di bag dada, perut, ketiak, punggung, n sedikit
di selangkang itu Roseola ya? Kata DSA, karna minyak.. Sori ya, rada curhat.
Salam, Ri…

GOOD MANUFACTURING PRACTICES
Industri farmasi harus memenuhi stau standar untuk memperoleh ijin produksi
dan mereka yang telah memperoleh ijin untuk memproduksi obat, harus mematuhi
standar Quakity Assurance.

The quality of pharmaceuticals has been a concern of the World Health Organization
(WHO) since its inception. The setting of global standards is requested in Article
2 of the WHO Constitution, which cites as one of the Organizations functions
that it should develop, establish and promote international standards with respect
to food, biological, pharmaceutical and similar products.”
Every government allocates a substantial proportion of its total health budget
to medicines. This proportion tends to be greatest in developing countries,
where it may exceed 40%. Without assurance that these medicines are relevant
to priority health needs and that they meet acceptable standards of quality,
safety and efficacy, any health service is evidently compromised. In developing
countries considerable administrative and technical effort is directed to ensuring
that patients receive effective medicines of good quality. It is crucial to
the objective of health for all that a reliable system of medicines control
be brought within the reach of every country.
Both for manufacturers and at national level, GMP are an important part of a
comprehensive system of quality assurance. They also represent the technical
standard upon which is based the WHO Certification Scheme on the Quality of
Pharmaceutical Products Moving in International Commerce.
Good manufacturing practice is that part of quality assurance which ensures
that products are consistently produced and controlled to the quality standards
appropriate to their intended use and as required by the marketing authorization.
GMP are aimed primarily at diminishing the risks inherent in any pharmaceutical
production. Such risks are essentially of two types: cross contamination (in
particular of unexpected contaminants) and mix-ups (confusion) caused by, for
example, false labels being put on containers. Under GMP:

a. all manufacturing processes are clearly defined, systematically reviewed
in the light of experience, and shown to be capable of consistently manufacturing
pharmaceutical products of the required quality that comply with their specifications
b. qualification and validation are performed;
c. all necessary resources are provided, including:

(i) appropriately qualified and trained personnel;
(ii) adequate premises and space;
(iii) suitable equipment and services;
(iv) appropriate materials, containers and labels;
(v) approved procedures and instructions;
(vi) suitable storage and transport;
(vii) adequate personnel, laboratories and equipment for in-process controls;

d. instructions and procedures are written in clear and unambiguous language,
specifically applicable to the facilities provided;
e. operators are trained to carry out procedures correctly;
f. records are made (manually and/or by recording instruments) during manufacture
to show that all the steps required by the defined procedures and instructions
have in fact been taken and that the quantity and quality of the product are
as expected; any significant deviations are fully recorded and investigated;

g. records covering manufacture and distribution, which enable the complete
history of a batch to be traced, are retained in a comprehensible and accessible
form;
h. the proper storage and distribution of the products minimizes any risk to
their quality;
i. a system is available to recall any batch of product from sale or supply;
j. complaints about marketed products are examined, the causes of quality defects
investigated, and appropriate measures taken in respect of the defective products
to prevent recurrence.
Singkatnya, urusan membuat obat merupakan rantai panjang nan rumit. Banyak persyaratan
yang HARUS dipenuhi. Misalnya, untuk premise, ada 36 persyaratan. Salah satunya
saya kutip di bawah. Apakah penggerusan obat kembali” menjadi bubuk tidak
melanggar konsep GMP? Bagaimana dengan kualitas (dan stabilitas) obat yang digerus
apalagi ketika penggerusanya bersama-sama dengan berbagai obat lainnya? Apalagi
Indonesia sebagai negara tropis yang lembab, kita patut mempertanyakan stabilitas
obat apalagi yang dicampur dan digerus bersama menjadi puyer.

12.3 Where dust is generated (e.g. during sampling, weighing,
mixing and processing operations, packaging of powder), measures should
be taken to avoid cross-contamination and facilitate cleaning.


PENUTUP

Apakah kita bisa dan mau membuka hati meninjau kembali praktek peresepan kita
termasuk peresepan puyer yang nampaknya suda menjadi suatu comfort zone”
buat kita semua? Apakah kita bisa jujur menilai diri kita sendiri, seberapa
jauh kita sudah menjalankan tugas sesuai evidence dan panduannya? Mari kita
bergandengan tangan …..PRIMUM NON NO CERE” … Above all do not harm.
Semoga kita bisa bersama-sama men translate” EBM ke kehidupan & praktek
sehari-hari dan tidak berkubang dalam atmosfer lost in translation”.

Daftar Pustaka:

1. World Health Organization. The Role of Education in the Rational Use of
Obat-obatan. South-East Asia Regional Office Publication Series, No. 45, 2006:
ix.
2. Arustiyono. Promoting Rational Use Of Drugs at the Community Health Centers
in Indonesia. Department of International Health School of Public Health Boston
University September 1999.
3. Bjerrum L. Pharmacoepidemiological Studies of Polypharmacy: Methodological
issues, population estimates, and influence of practice patterns. PhD Thesis,
Research Unit of General Practice and Department of Clinical Pharmacology The
Faculty of Health Sciences Odense University Denmark 1998.
4. Aman GM. Masalah Pemberian Polifarmasi.
5. Dwiprahasto I. Improving the Quality of Prescribing at Primary Health Centres
through a Training Intervention for Doctors and Paramedics. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, 2006: 94-101.
6. Widyastuti S, Dwiprahasto I, Andajaningsih, Bakri Z. The impact of problem-based
rational drug use training on prescribing practices, cost reallocations and
savings in primary care facilities. International
Conferences on Improving Use of Obat-obatan (ICIUM)
. World Health Organization
Essential Obat-obatan and Policy Department (EDM).
7. Quick J D, Foreman P, Ross-Degnan D. Where Does the Tetracycline Go? Health
Center Prescribing and Child Survival in East Java and West Kalimantan, Indonesia,
Jakarta: Management Sciences for Health, 1988.
8. MOH Republic of Indonesia. Integrated Analysis of Focused Problem Assessments
on Drug Management and Use and Design Interventions, Washington, DC: International
Science and Technology Institute Inc, 1990.
9. MOH Republic of Indonesia. Final Report on Pre-Post Controlled Trial of Drug
Use, Jakarta, 1994
10. Ross-Degnan D, Laing RO, Quick JD, Santoso B, Bimo, Chowdlury AK, Ofori-Adjei
D, et al. Field tests for rational drug use in twelve developing countries,
The Lancet 1993; 342:1408-1410
11. Department of Child and Adolescent Health and Development. The Treatment
of Diarrhoea. A Manual for Physicians and Lain-lain Senior Health Workers. World
Health Organization. 2005.
12. Makalah workshop Promoting Rational Use of Drugs in the Community (PRUDC),
WHO SEARO, Jaipur, India, January 2005.
13. WHO. Quality assurance of pharmaceuticals. A compendium of guidelines and
related materials Volume 2, 2nd updated edition. Good manufacturing practices
and inspection, 2007. www.who.int/topics/pharmaceutical_products/en

THE GREAT PHYSICIAN. We physicians all have heroes during
our training. We all remember the great physicians. I contend that the great
physicians differ from the good physicians because they understand the entire
story. Only when we understand the complete story do we make consistent
diagnoses.
Each patient represents a story. That story includes their diseases, their
new problem, their social situation, and their beliefs.
How do we understand the story? We must develop excellent communication
skills and gather the history in appropriate depth. We must perform a targeted
physical examination based on the historical clues. We must order the correct
diagnostic tests, and interpret them in the context of the history and physical
exam. Once we collect the appropriate data, we then should construct that
patient’s story.
The story includes making the correct diagnosis or diagnoses. The story
must describe the patient’s context. Who is this patient? What are the patient’s
goals? How might the patient’s personal situation impact our treatment options?
Sir William Osler said, “The good physician treats the disease; the
great physician treats the patient who has the disease.” The great
physician understands the patient and the context of that patient’s illness.
Be a great physician. Understand the full story. Make correct diagnoses.
Consult the patient in designing the treatment plans that best fit that
patient.
Follow the results with consistency and compassion. By so doing, you will
not only be providing the highest quality medical care; you will also be
living up to the ideals of William Osler and those of Tinsley Randolph Harrison
— the greatest of physician role models. That’s my opinion. I’m Dr. Robert
Centor, Professor of Medicine at the University of Alabama, Birmingham.

6 Responses so far »

  1. 1

    liza said,

    pakabar bun?
    tak copas subject ini ya bun??

  2. 2

    Fe said,

    terima kasih bunda wati atas selalu ilmunya yang di share ke kami kami..
    benar2 pencerahan yang tiada habis untuk bersyukur..
    saya jg akan berusaha untuk menebar kebaikan ke lingkungan sekitar..
    demi kebaikan dan kesejahteraan bersama ^^

  3. 3

    alya said,

    Bundaku sayang, artikelnya saya kutip utk mading kantor yach…supaya tambah banyak cucu-cucu bunda yang terselamatkan dari penggunaan obat-obatan yang berlebihan… ;o)

  4. 4

    Zunardi Putra said,

    Pemuyeran itu tidak selalu haram apabila kasuistik misalnya untuk pasien yang tidak bisa menelan partikel besar semacam tablet. Kalau profil bioavalibitasnya sama dengan bentuk solidnya tidak masalah, kog.
    Coba deh pergi ke elsevier, springer, atau porta pubmed dan jurnal-jurnal lain. Ratusan paper meneliti profil crushing drug, tablet crushing …for example. Dan banyak yang tidak bermasalah ada juga memang yang bermasalah ketersediaan hayati pasca pemuyeran.

    Hemat saya informasi dari satu bidang pekerjaan, misal dokter saja, tidak cukup untuk memberikan justifikasi. Sistem informasi dan edukasi satu stream itu timpang.

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17711606?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=3&log$=relatedreviews&logdbfrom=pubmed

  5. 5

    rina dienawati said,

    pagi buu, minta izin tuk post link wordpress-nya ya, biar bsa jd smart parent dan temen2 lain bsa tertulari,trims

  6. 6

    epi said,

    Pagi dok..ijin untuk taruh blog dok di blog saya ya :-). thank u


Comment RSS · TrackBack URI

Leave a reply to liza Cancel reply