Archive for December, 2008

Bijak Konsumsi Obat

By Republika Newsroom
Rabu, 31 Desember 2008 pukul 13:28:00

Bijak Konsumsi ObatCORBIS.COMKONSULTASI: Diskusikan dengan dokter mengenai obat yang akan dikonsumsi seperti mekanisme, indikasi, kontra indikasi dan efek sampingnya.

JAKARTA–Obat-obatan merupakan salah satu terapi yang digunakan oleh dokter dan ahli medis lain untuk menyembuhkan pasien. Namun, jika digunakan berlebihan dan tidak tepat justru dapat mengganggu organ hati (liver)

Sayangnya, masyarakat di Indonesia masih banyak yang menganggap hal itu sebagai suatu kewajaran. Selain itu, kebiasaan yang berlaku adalah meminta obat untuk masing-masing gejala penyakit yang timbul.

Misalnya, seorang ibu yang anaknya menderita diare, dia akan meminta obat untuk mencretnya, lalu obat untuk mualnya, nafsu makannya, juga obat untuk kepala pusing. Alhasil saat pulang, ibu bisa membawa lebih dari tiga macam obat untuk anaknya.

”Padahal untuk penyakit harian seperti diare, batuk, demam, atau radang tenggorokan tidak perlu sampai lebih dari dua obat,” kata dr Purnamawati S Pujiarto SpAK MMPed, duta WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) untuk penggunaan obat secara rasional, dalam sebuah seminar di Kemang Medical Care, Jakarta, belum lama ini.

Ketika Anda atau keluarga Anda menderita penyakit harian, mestinya tak perlu panik. Dokter yang akrab disapa Wati itu mengatakan, penyakit harian akan sembuh sendiri dalam beberapa hari tanpa bantuan obat.

Penyakit tersebut merupakan hal alami yang terus terjadi dalam tubuh manusia. Perlu ditahui, penyakit ringan itu merupakan cara alami manusia untuk memerangi bakteri atau virus jahat dalam tubuh. Jadi, jangan terlampau tergantung pada obat.

Wati mengingatkan, meski obat sangat berguna bagi kesehatan namun jika digunakan sembarangan akan merugikan kesehatan itu sendiri. Sangat penting untuk menggunakan obat secara rasional dan bijaksana, utamanya demi menjaga fungsi hati.

Wati memaparkan, sebagian besar obat tidak larut dalam air sehingga perlu diproses di hati agar menjadi komponen yang larut dalam air.

”Sehingga jika menggunakan obat terlalu banyak dan tidak tepat akan merusak kerja hati. Selain itu, ginjal juga akan kesulitan mengeluarkan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh,” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 1978 itu.

Dia memberi contoh, obat batuk pilek yang mengandung dekongestan. Kandungan ini (dekongestan), kata dia, tidak pernah terbukti efektif menangani batuk pilek. Bahkan di beberapa negara, dekongestan sudah dinyatakan tidak aman diberikan pada bayi dan anak kecil.

Saat Anda batuk, jangan pernah meminum obat untuk menekan batuk. Pasalnya, batuk berfungsi untuk membantu membersihkan jalan napas sehingga tidak boleh ditekan. ‘

‘Golongan yang paling rentan terkena efek tidak baik dari penggunaan obat yang kurang tepat adalah anak-anak dan manula,” kata Wati, yang pada 1994-2003 menjadi staf pengajar di Sub Bagian Hepatologi Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI.

Ada sejumlah jurus yang bisa dilakukan untuk mencegah penggunaan obat yang tidak rasional. Salah satunya dengan membangun hubungan baik antara pasien dan dokter dalam sebuah sesi pengobatan.

Wati menggambarkan, ketika pasien datang, dokter harus mengumpulkan data perihal permasalahan, perjalanan penyakit dam pengobatan yang pernah diperoleh pasien. Dokter lalu memberikan diagnosis yang tepat dan akurat, dilanjutkan dengan pemilihan obat yang efektif, aman, cocok, terjangkau dan mudah didapat.

Dokter juga harus menjelaskan manfaat dan efek samping obat serta tindakan yang mesti dilakukan jika terjadi efek samping.

Sebagai pasien, Anda tak harus selalu menerima atau puas dengan apa yang dilakukan dokter. Anda berhak menanyakan banyak hal seputar penanganan penyakit. Setelah mendapatkan obat, selayaknya pasien dapat bertanya, apakah dirinya memang perlu mendapatkan obat itu, kandungan aktif obat, bagaimana mekanisme kerja obat, indikasi, kontra indikasi dan efek samping.

Pendek kata, jadilah pasien yang kritis. ”Ini justru dapat memberikan banyak pengetahuan, sekaligus mengamankan Anda dalam mengonsumsi obat,” kata Wati yang juga menulis buku Q&A Smart Parents for Healthy Children.

Pasien juga harus memahami, tidak selamanya dokter harus memberikan obat. ”Sebuah pelayanan kesehatan yang baik tidak berarti mengeluarkan obat sebagai hasilnya, melainkan sebuah konsultasi dan diskusi antara pasien dan dokter tentang penyakit dan cara penanganannya,” pungkasnya.(c62/ri)

Sumber : Republika

Comments (1) »

Bila Kawan Menjadi Lawan

Penggunaan antibiotik tak tepat mengakibatkan mikroba resisten atau muncul penyakit baru. Kuncinya sikap kritis dalam mengkonsumsi antibiotik.

HARTONO tak habis pikir. Sepulang dari rumah sakit sehabis perawatan sepekan, ia dijejali 12 jenis obat—sebagian besar jenis antibiotik. Pria 40 tahunan ini dirawat karena ”tumbang” akibat komplikasi penyakit maag akut dan demam berdarah. Hartono—bukan nama sebenarnya—serba salah: obat tak diminum, takut penyakit kambuh. Tapi, kalau ditelan semua, ”Takut ada efek samping,” keluhnya.

Masih banyak pasien lain yang dilanda kebingungan serupa. Ada juga yang mandek minum antibiotik, menganggap tak perlu lagi karena penyakitnya sudah sembuh. Padahal problemnya sebetulnya lebih dari itu. Selain bisa menimbulkan dampak samping, antibiotik bisa menyebabkan kuman jadi kebal. Walhasil, muncullah mikroba baru yang menyebabkan penyakit lain.

Soal antibiotik yang bisa menjadi bumerang bagi kesehatan tubuh bila tidak dikonsumsi secara tepat benar itu menjadi topik penelitian Prijambodo. Dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo, Senin pekan lalu, dia menyampaikan tema ”Peran Laboratorium Mikrobiologi Klinik dalam Upaya Pengendalian Resistensi Mikroba terhadap Antibiotika di Rumah Sakit”.

Ahli mikrobiologi ini menyatakan jenis penyakit yang disebabkan infeksi memang berkurang dari tahun ke tahun. Penyakit yang banyak menyerang di negara berkembang ini belakangan kian tergusur oleh penyakit lain seperti stroke, jantung koroner, dan diabetes.

Jumlah penyakit infeksi menyusut, namun kualitasnya justru meningkat alias lebih berbahaya. Biang keladinya apa lagi jika bukan konsumsi antibiotik yang keliru. Menurut Prijambodo, belakangan sering muncul penyakit baru dengan mikroba yang belum diketahui jelas jenisnya. Banyak juga kasus yang diletupkan oleh mikroba yang sebenarnya pernah dinyatakan hilang namun muncul kembali. ”Misalnya polio yang tiba-tiba merebak lagi,” kata Prijambodo.

Bahkan ada beberapa mikroorganisme yang biasanya menyerang binatang kini juga mulai menjangkiti manusia. Juga banyak ditemukan bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Penyebabnya, ya, penggunaan antibiotik tak tepat itu tadi.

Antibiotik sendiri, menurut dokter spesialis anak Purnamawati S. Pudjiarto, adalah suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikroorganisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Ada antibiotik spektrum sempit yang digunakan membantai bakteri yang sudah diketahui atau dikenal; ada yang spektrum luas untuk membunuh bakteri yang belum diketahui.

Menurut dokter pendiri Yayasan Orang Tua Peduli ini, pemahaman seperti itu seharusnya menjadi patokan bagi para dokter maupun pasien dalam pemilihan antibiotik. Lagi pula, tak semua keluhan mesti diatasi dengan antibiotik. Sebab, sejak lahir manusia sudah dibekali sistem imunitas yang canggih.

Ketika infeksi menyerang, sistem kekebalan tubuh terlecut untuk bekerja lebih keras. Infeksi karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh, antara lain dengan makan baik dan istirahat cukup, serta diberi obat penurun panas jika suhu tubuh di atas 38,5 derajat Celsius. ”Kecuali kalau kita punya gangguan sistem imun seperti pengidap HIV dan AIDS,” ujar dokter yang juga pengelola mailing list kesehatan itu.

Adapun Prijambodo menyebut bakteri sebagai makhluk cerdas. Maksudnya, setiap kali diserang antibiotik, si bakteri akan mengeluarkan semacam enzim perlindungan diri yang juga dibagikan kepada sesamanya. Konsumsi antibiotik dalam dosis tepat akan membuat bakteri gagal mengeluarkan enzim, apalagi menyebarkan ke teman-temannya. Namun, jika antibiotiknya salah jenis, kelebihan atau kekurangan dosis, bakteri akan makin ”dermawan” menyebarkan enzim sehingga makin tak mempan dihajar antibiotik.

Penyakit yang ditimbulkan bakteri ini sangat mudah menular dalam lingkungan masyarakat. Lebih gawat lagi, infeksi juga mudah menyebar di rumah sakit. Pasien rawat inap kerap diserang penyakit lain, yang disebut infeksi nosokomial.

Masyarakat sebagai konsumen kesehatan juga ikut memberikan andil dalam permasalahan besar ini. Sering mereka menggunakan antibiotik tanpa mempedulikan dosisnya. ”Banyak yang langsung menghentikan pemakaian antibiotik begitu gejala infeksinya hilang,” kata Prijambodo. Walhasil, bukannya musnah, kuman malah jadi resisten terhadap antibiotik. Padahal penggunaan antibiotik idealnya dilakukan selama tiga hari, untuk memastikan semua bakteri musnah.

Prijambodo mencontohkan orang yang sering ke tempat pelacuran kerap menenggak super-tetra saat tertular gonorrhea. Pengidap penyakit kelamin itu sering berhenti di tengah jalan sebelum obat ini habis. Yang lebih konyol, katanya, ada yang minum super-tetra tiap kali bertandang ke kompleks pelacuran. Akibatnya, kini penyakit gonorrhea tak lagi mempan diberangus dengan super-tetra.

Masalah lunturnya kedigdayaan antibiotik ini sebetulnya telah lama jadi keprihatinan dunia. Pada 1995, The American Medical Association mempersoalkan hadirnya kuman yang kebal terhadap semua antibiotik. Dan tidak semuanya salah si pasien penenggak antibiotik. Dokter pemberinya juga turut memberikan andil.

Banyak tenaga medis yang menyimpulkan pasiennya terkena infeksi hanya berdasarkan pada diagnosis klinis, tanpa disertai diagnosis penyebab atau aspek mikrobiologis. Selain itu, kata Prijambodo, pengobatan dengan penggunaan antibiotik hanya berpegang pada informasi dari perusahaan farmasi. Semua kekeliruan ini berakibat pada penggunaan antibiotik yang tidak tepat sasaran dan justru mengubah pola kuman penyebab infeksi.

Hal serupa dikumandangkan Purnamawati. Selama ini, banyak pasien yang datang ke dokter identik dengan meminta obat. Nah, demi memenuhi tuntutan adanya obat manjur, banyak dokter yang dengan mudah meresepkan antibiotik. Maka antibiotik pun seolah jadi ”obat dewa” yang mujarab. Apalagi bagi pasien kanak-kanak.

Para bocah sangat mudah tertular selesma, batuk, diare, dan gangguan tenggorokan. Umumnya penyakit itu disebabkan virus atau makanan yang banyak mengandung zat sintetis. ”Hanya 15 persen radang tenggorokan yang disebabkan bakteri,” kata Prijambodo. Namun, dalam prakteknya, banyak dokter yang meresepkan antibiotik untuk penyakit anak yang sebenarnya disebabkan virus.

Jalan keluarnya hanya satu: pencegahan resistensi bakteri terhadap antibiotik. Prijambodo menyarankan lembaga medis perlu memiliki laboratorium mikrobiologi klinis yang bermutu dengan standar baku dan jaminan mutu. Selain itu, rumah sakit sebaiknya melakukan pengawasan ketat terhadap perputaran antibiotik di lingkungannya. ”Idealnya, jenis obat antibiotik perlu dibatasi,” kata Prijambodo.

Masyarakat pun harus kritis dalam mengkonsumsi antibiotik. Selain tak boleh ditenggak tanpa pengawasan dokter, antibiotik tak boleh dianggap sebagai ”obat dewa” yang mujarab bagi semua penyakit. Dengan perilaku keliru dalam mengkonsumsi antibiotik, Prijambodo khawatir, makin banyak antibiotik jadi tak berguna, dan makin banyak pula muncul penyakit baru.

Sumber : Majalah Tempo

Comments (1) »

Karena Sekotak Obat, Hati Berontak

“Semua obat, bila penggunaannya tidak tepat, dapat mengganggu fungsi hati”.

Gangguan hati pada anak seperti sebuah keriaan. Awalnya sepi, lama-kelamaan semakin ramai. Kini pasien anak dengan label penderita gangguan hati terkumpul dalam jumlah tinggi. Paling tidak, begitulah data yang terkumpul di meja praktek spesialis anak dari Kemang Medical Care, Jakarta Selatan, dr Purnamawati S Pujiarto, SpAK, MMPed ini. Ahli hati anak ini menjadi sejumlah rujukan dari dokter anak untuk pasien-pasien yang mengalami gangguan hati.

Setelah mencoba merunut pemicu di balik derita tersebut, sang dokter yang biasa dipanggil Wati pun menemukan bahwa penggunaan obat yang berlebihan adalah pemicunya. Ia lalu menunjuk sejumlah resep yang digunakan dengan obat yang tak seharusnya diberikan kepada balita. Seperti pemberian obat TB untuk anak yang didiagnosis bronkitis, padahal baru berusia 6 minggu.

Wati menjelaskan, bayi berusia nol hingga enam bulan, kemampuan hatinya rendah sehingga kepiawaiannya untuk mengikis ataupun membuang racun dari obat pun masih minim. Demikian juga dengan kemampuan ginjal. Kondisinya serupa dengan orang lanjut usia, yang fungsi hati dan ginjalnya sudah menurun. Kedua kelompok usia ini paling terpapar kasus penggunaan obat secara berlebihan.

Pemberian yang berlebihan itu telah membuat hati merana. Wati menjelaskan, kebanyakan obat tidak larut dalam air sehingga perlu diproses dalam hati agar larut dalam air. Proses selanjutnya, obat akan dibuang dari tubuh melalui ginjal menjadi urine atau lewat usus menjadi tinja. Proses metabolisme terbagi dua tahapan.

Pertama, dengan bantuan keluarga enzim P450 atau diolah enzim lain, seperti gluthation yang mengubahnya menjadi produk larut air dan siap dibuang. Zat antara yang dihasilkan tersebut berpotensi merongrong sel hati. Karena itu, ada tahap kedua, yakni langkah menetralisasi zat antara yang beracun itu. “Semua obat, bila penggunaannya tidak tepat, dapat mengganggu fungsi hati,” ujarnya. Maksudnya, tidak tepat indikasinya, tidak tepat dosisnya.

Wati menyebutkan kerusakan sel hati lazimnya terjadi jika suatu obat diberikan bersamaan dengan obat lain yang merangsang enzim P450 atau menghambat enzim gluthation. Contoh, parasetamol, bila diberikan secara berlebihan dan bila dicampur obat lain yang merangsang enzim P450 seperti Rifampisin Fenobarbital atau INH, akan memicu jumlah racun melonjak.

Demikian juga dengan obat TB seperti Pirazinamid, Rifampisin, dan INH. Kumpulan obat ini berisiko tinggi merusak hati, terlebih jika digabung dengan obat lain yang berisiko juga, seperti antikejang dan parasetamol. Lantas, antibiotik yang dianggap dewa obat oleh kebanyakan tak luput dari perannya sebagai pemicu berontaknya sel hati. Terutama yang golongan makrolid dan kloramfenikol karena bisa menghambat enzim P450 sehingga pembuangan obat lain terganggu.

Pemilihan obat dan dosis obat untuk anak memang harus tepat. Menurut Wati, perlu dipertanyakan juga apakah si anak memang memerlukan obat. Sebab, ada beberapa gangguan kesehatan pada anak akan sembuh dengan sendirinya alias tidak memerlukan obat. Hal inilah yang perlu diketahui oleh orang tua. Bayangkan, dari obat demam pun bisa berakhir pada penderitaan hati. Saat ini ada beragam antidemam di pasar, seperti ibuprofen, asetaminofen, asetosal, asam mefenamat, dan metamizole. Yang tergolong paling aman saat ini adalah asetaminofen dengan dosis 10-15 miligram per kilogram. “Asetaminofen aman selama dosis tidak berlebih. Efek yang ada iritasi saluran cerna,” katanya. Adapun ibuprofen berefek lebih panjang. Di samping memicu rasa mual, juga dapat menyebabkan iritasi perdarahan saluran cerna hingga gagal ginjal.

Sementara itu, antidemam yang mengandung asam mefenamat tidak dianjurkan untuk demam pada anak karena memiliki efek samping anemia hemolitik-anemia yang dipicu oleh pecahnya sel darah merah lebih cepat dari usia regenerasi sel darah merah. Hati-hati juga dengan yang memiliki kandungan metazole karena menyebabkan reaksi alergi berat dan agranulositosis-berkurangnya jumlah sel darah putih dalam darah. Asetosal juga tidak dibolehkan diberikan pada anak berusia kurang dari 16 tahun. Selain risiko seperti iritasi perdarahan saluran cerna, efek terberat konsumsi asetosal bisa menyebabkan sindrom Reye.

Menurut Wati, sindrom Reye tak lain adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang pada intinya melibatkan kelainan otak dan hati. Ciri-ciri terjadinya gangguan fungsi hati, antara lain muncul rasa mual, muntah, dan sakit pada perut sebelah kanan, serta timbulnya warna kuning pada bagian putih mata, kuku, dan kulit.

Ia memaparkan, aspirin atau asetosal merupakan obat yang memiliki efek samping antiinflamasi, tetapi bukan golongan steroid. Selain berperan sebagai antiradang, aspirin juga memiliki sifat analgesik alias pereda rasa sakit dan antipiretik atau penurun demam. Indikasi pemberian aspirin adalah penghilang rasa sakit, antiinflamasi. Aspirin juga digunakan pada infark jantung dan hiperagresasi trombosit (kekentalan darah) karena bisa mengencerkan darah.

Nah, pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus berpeluang besar menimbulkan sindrom Reye. Gejala biasanya anak mengalami penurunan kesadaran, kejang-kejang, dan gagal hati. Karena itu, dunia kedokteran memutuskan untuk melarang pemberian aspirin pada anak yang usianya kurang dari 16 tahun. Jadi, siapa bilang dengan obat kita selamat? Bukan antiobat, tapi cermat dan teliti lah! RITA

Sumber : Koran Tempo

Leave a comment »

Lima Tepat Dalam Penggunaan Obat yang Rasional

Sabtu, 6 Desember 2008 | 19:06 WIB

JAKARTA, SABTU — Penggunaan obat yang baik harus memenuhi lima tepat yaitu, tepat sesuai klinis atau diagnosis, tepat dosis, tepat jangkau waktu, tepat informasi, dan tepat harga. Jika tidak memenuhi beberapa unsur itu, pasien sebagai konsumen akan dirugikan karena harus mengonsumsi obat secara tidak rasional dan mengeluarkan biaya pengobatan yang lebih mahal.

Demikian benang merah seminar bertema “Penggunaan Obat yang Rasional di Masyarakat” dalam rangkaian acara Weekend at Kemang Medical Care (KMC), Sabtu (6/12), di Kemang Medical Care, Jalan Ampera Raya, Jakarta.

Dokter spesialis anak Purnamawati S Pujiarto menekankan pentingnya orangtua atau pasien memakai haknya untuk menanyakan penyakit serta pengobatannya kepada dokter. Hubungan dokter dan pasien harus interaktif layaknya hubungan antara konsumen dan konsultan. Konsultasi medis adalah perundingan antara penerima dan pemberi jasa layanan kesehatan untuk mencari penyebab penyakit serta penanganannya, ujarnya menegaskan.

Dengan demikian, prinsip keselamatan pasien yang menempatkan pasien sebagai subyek layanan kesehatan dapat tercapai, kata Purnamawati yang juga merupakan Direktur Medik Kemang Medical Care ini. Atas dasar itu, pasien dianjurkan untuk selalu menanyakan tiga hal kepada dokternya yaitu apa masalah yang saya hadapi dan penyebabnya, apa yang harus dilakukan dan mengapa, serta kapan saya harus menjadi lebih cemas.

Diakui, saat ini sering kali dijumpai praktik penggunaan obat yang tidak rasional di kalangan masyarakat, termasuk di dalamnya polifarmasi atau penggunaan obat secara berlebihan jenisnya. Sebagai contoh, pada sediaan puyer, penggunaan antibiotika yang tidak pada tempatnya, pemakaian obat non-generik, penyuntikan serta pemberian suplemen yang tidak perlu.

Promosi dan pemasaran produk sangat agresif yang pada akhirnya menciptakan konsumen tidak rasional, kata Purnamawati menambahkan. Hal ini mencerminkan keinginan pasien untuk selalu memperoleh obat bagi setiap keluhan. Padahal, bukan keluhan yang harus diatasi, tetapi penyakitnya yang hanya bisa didapatkan dari penegakan diagnosis yang tepat.

Selain itu, banyak konsumen menginginkan obat yang bekerja secara instan atau mengejar obat yang harganya mahal lantaran mengira bahwa semakin mahal suatu obat akan semakin pasti juga khasiatnya. “Penggunaan antibiotik secara berlebihan dan tidak tepat merupakan masalah klasik yang masih terus berlangsung. Jika hal ini terus terjadi, malah akan membuat bakteri jadi kebal atau resisten,” ujarnya.

Sebagai institusi kesehatan dengan fokus pada kesehatan ibu dan anak, Kemang Medical Care secara aktif menggalakkan program penggunaan obat yang rasional. “Hal ini secara nyata kami terapkan dengan dukungan penuh dari jajaran dokter yang bergabung bersama kami,” kata Direktur Pengembangan Bisnis dan Pemasaran Kemang Medical Care Chairani Jusuf Kalla menjelaskan.

Sumber : Kompas

Comments (1) »